Site Network: Home | Blogcrowds | Gecko and Fly | About

1. Ibnu Muqlah
la adalah Abu Ali al-Sadr Muhammad ibn al-Hasan ibn Abd Allah ibn Muqlah, yang lebih dikenal dengan Abu Ali atau Ibnu Muqlah. Lahir tahun 887 M, meninggal pada 940 M dan dikuburkan di pekuburan kerajaan, setelah tiga kalii dipindahkan. Ibnu Muqlah artinya "anak si biji mata", alias anak ke¬sayangan. la adalah wazir (menteri) untuk tiga Khalifah Abbasiyah, al¬Muqtadir, al-Qahir dan al-Radhi. Meninggal pada masa al-Radhi, di penjara, karena fitnah masalah keuangan negara, setelah lidah dan tangannya dipotong.
Ibnu Muqlah memulai karirnya sebagai pegawai pemungut pajak di propinsi Persia, yang membawanya sukses dalam menduduki posisi tertinggi di istana Baghdad. la berkali-kali masuk penjara, sampai suatu saat ia mesti membayar tebusan satu juta dirham. Hukuman bukan berhenti di sini saja, karena selanjut¬nya ia harus mempertaruhkan tangan kanar. dan kirinya. Terakhir, lidahnya. Meski -demikian, sebagai kaligrafer ia tidak pernah berhenti menulis, walau hanya dengan ujung tangan kanannya yang telah buntung.
Ibnu Muqlah mendapat bimbingan kaligrafi dari al-Ahwal al-Muharrir (lihat catatan kaki no. 2). Karena kejeniusannya, ia dikenal sebagai "nabi"nya kali¬grafi atau imam al-Khathathin (bapak para kaligrafer). Keberhasilan Ibnu Mu¬qlah adalah mengangkat gaya Naskhi menjadi abad sebelumnya didominasi Kufi. Gaya lain yang ditekuninya adalah Tsuluts, yang nantinya banyak ber¬pengaruh pada karya Ibnu Bawwab. Sumbangan Muqlah dalam kaligrafi bukan pada penemuan gaya barn tulisan, akan tetapi pemakaian kaidah-kaidah sistematis untuk khath Naskhi, yang berpangkal pada huruf alit.
Lebih jelas diterangkan oleh Y.H. Safadi, bahwa sistem Ibnu Muqlah berpangkal pada tiga unsur kesatuan baku: titik (yang dibuat dari tarikan diagonal pena ), huruf alit vertikal, dan lingkaran (lihat gambar). Prinsip-prinsip ilmiah
geometrical ini mendobrak cara penulisan Arab sebelumnya, yang cenderung nisbi. Metode penulisan baru ini disebut al-Khath al-Mansubi (kaligrafi yang 'tersandar'). Meski kaidah-kaidah tersebut tidak terpakai sekaku awal penciptaan Ibnu Muqlah, perkembangan kaligrafi selanjutnya banyak diwarnai oleh kepiawaiannya dalam memperindah tulisan, seperti yang juga terlihat
pada pembehasan. Sayangnya, tak satu pun karyanya yang dapat terpelihara
hingga kini.

2. Ibnu Bawwab
Ibnu Bawwab, yang nama lengkapnya Abu al-Hasan Ali ibn Hilal, adalah anak seorang penjaga pintu istana Baghdad. (Bawwab berarti 'penjaga pintu'). la juga dikenal sebagai al-Sitri. Penulis kaligrafi ini hafal al-Qur'an dan menulis 64 eksemplar Kitab Suci. Salah satunya, yang ditulis dengan gaya Raihani, di sim¬pan di mesjid Leleli di Istanbul, hadiah dari Sultan Salim 1 (1512-1520 M) ke¬sultanan Turki Utsmani (Ottoman). la penemu dan pengembang gaya tulisan Raihani dan Muhaqqaq•
AI-Bawwab, yang berhasil membentuk madzhab kaligrafi di Baghdad, meninggal tahun 1022 M dan dimakamkan di dekat makam Imam Ahmad ibn Han-bal. Tidak diketahui tanggal kelahirannya.
Pada masa mudanya, Ibn Bawwab belajar kaligrafi pada Muhammad ibn Asad, kemudian Muhammad ibn al-Simsimani, murid Ibnu Muqlah. Dalam karir kaligrafinya ia lebih dikenal sebagai penerus dan pengembang prestasi Ibnu Mu¬qlah. Dialah yang menambah hakikat makna pada pekerjaan yang telah dirintis pendahulunya itu. Bentuk baru yang penuh keindahan ini kemudian dikenal dengan al-Mansub at-Faiq (mansub yang indah). Meski al-Bawwab pada mulanya dikenal sebagai dekorator rumah (house painter) dan ilustrator buku, namun ia menonjol dalam mengembangkan dan mempercantik keenam gaya tulisan yang ada saat it u, al-Aqlam al-Sittah. Perhatiannya terutama dicurahkan pada Naskhi dan Muhaqqaq, yang secara ideal selaras dengan kejeniusannya. Ib¬nu Bawwab mendirikan Sekalah Kaligrafi, yang dikenal sampai mass Yaqut al¬Musta'shimi.
Meskipun ia banyak berkarya, namun kini hanya beberapa yang dapat terdokumentasi. Dua halaman al-Qur'annya, berukuran 171/2 x 131/2 cm, ber¬tahun 1001 M, kini tersimpan di Perpustakaan Chester Beatty, Dublin, Irlandia.

3. Yaqut Al-Musta'simi
la adalah al-Syaikh Jamal al-Din Yaqut al-Musta'shimi al-'rhawasyi al¬Baghdadi (wafat 698 H/1298 M), seorang kepala perpustakaan"al-Mustan¬shiriyah" di Baghdad. Dalam riwayat lain ia disebutkan bernama lengkap Abu Durr Amin al-Din Yaqut al-Musta'shimi ibn Abdullah, yang memiliki julukan Jamaluddin, dengan panggilan Abu Durr atau Abu al-Majid.
Menurut Encyclopaedia of Arabic Civilizat-ron, Yaqut keturunan keluarga Yunani dari Amasia (Turki Utara), yang dijual sebagai budak ke Baghdad. la kemudian dimerdekakan oleh khalifah al-Musta'shim Billah (1242-1258 M), khalifah terakhir Dinasti Abbasyiyah. Dari sang khalifah ia menambahkan "al¬Musta'shimi" pada namanya. Di samping sebagai kaligrafer yang ke¬dudukannya setaraf dengan lbn Muqlah dan Ibnu Bawwab ia jug dikenal sebagai penyair dan sastrawan.
Yaqut mengembangkan metode baru dalam sistem penulisan huruf Arab, di samping menciptakan gaya tulisan baru, yang kemudian setelah wafatnya disebut Yaquti (ala Yaqut). Gaya ini dipandang mengungguli semua gaya lain. Dalam metode penulisan, Yaqut mempelopori penulisan dengan potongan bam¬bu miring, yang memberikan efek kelembutan dan keindahan lebih sempurna. Lewat kejeniusannya, gaya Tsulutsi berkembang menjadi bentuk ornamental, kayo hiasan-hiasan.
Prestos: luar biasa Yaqut memungkinkan ia menjadi panutan kaligrafer setelahnya, terutama para kaligrafer Turki Utsmani, seperti Hamdullah al¬Amasi, Hafidh Ustman dan Mustafa al-Raqim (lihat ca.atan kaki berikutnya). Mereka menyebut Yaqut sebagai Qiblat al-Kuttab (kiblat para kaligrafer), atau dalam. istilah Inggrisnya, Model of the Calligrapher. Yaqut terkenal dengan filsafatnya tentang kaligrafi: Al-Khaththu handasatun ruhaniyyatun dhaharat bi alatin jusmaaniyyatin (Kaligrafi adalah geometri spiritual, yang diekspresikan melalui alai jasmani — qalam).
Pada masa Yaqut, perkembangan kaligrafi empat terhenti oleh jatuhnya Baghdad di bawah pasukan Mongol pimpinan Hulagu Khan. Namun dalam waktu kurang dari setengah abad, perkembangan itu pulih kembali, berkat ke¬gigihan orang-orang Islam saat itu dan dukungan pemerintahan penjajah ber¬gelar 11-Khan (penguasa suku) — yang segera berbalik menjadi muslim.

4. Hamdullah
Hamdullah, lebih dikenal dengan Ibn Syaikh, bernama lengkap Syaikh Hamdullah al-Amasi. Lahir dimasa (kola kelahiran Yaqut al-Musta'shimi), Turki Utara, tahun 833 H. Wafat tahun 926 H/1520 M. Ia dianggap sebagai master terbesar sepanjang sejarah Ottoman. Kaligrafer-kaligrafer Utsmani yang datang kemudian, berkiblat kepada rumus-rumus dan tulisan Hamdullah.
Syaikh Hamdullah menulis sejumlah al-Qur'an dan beberapa manuskrip lain. Karyanya yang terhitung monumental adalah inskripsinya pada pintu utama mesjid Sultan di Istanbul.
Perhatian besar pihak kesultanan terhadap kaligrafi memungkinkan Hamdullah berkarya dengan lapang dan lebih kreatif. Beberapa sultan bahkan belajar kaligrafi, dan begitu menaruh hormat kepada khathath. Pada masa Hamdullah, Sultan Bayazid 11 (1481-1512 M) belajar kaligrafi kepadanya. Sang sultan sendiri selalu bersedia membayar mahal untuk setiap huruf yang meluncur dari qalam¬nya. Sultan memang lebih menaruh perhatian kepada perkembangan kaligrafi, ketimbang cabang seni lukis atau lainnya. Ada sebuah cerita yang meriwayatkan betapa sang Sultan menghargai gurunya: selama Syaikh menulis, sang Sultan bersedia memegangkan tempat tintanya sampai is selesai.
Di antara murid tersohornya adalah Ahmad Qarahisari (wafat 963 14-11~55 M), yang mendapatkan ijazahnya. Qarahisrai sendiri banyak meninggalkan karya.
Syaih Hamdullah al-Amasi adalah kaligrafer legendaris selama lima abad ter¬akhir ini. Lewat tangannyalah pembakuan penulisan huruf dengan rumus-rumus tertentu mencapai finalnya, dan terpakai hingga sekarang. Karenanya, tak salah
jika Hamdullah dianggap sebagai penyumbang terbesar bagi kaligrafi Islam sekarang.
Kiblat perkembangan kaligrafi sejak masa Hamdullah telah berpindah ke Istanbul — setelah mendewasa di Baghdad dan menclapat angin segar di Persia.

S. Hafidh Utsman
Hafidh Utsman bemama asli Utsman ibn Ali, lahir di Asitanah, Istanbul, tahun 1052 H/1642 M. Sejak masa mudanya ia hafal al-Qur'an, yang karena itu orang menjulukinya al-Hafidh (penghafal). Ia sendiri suka menulis di akhir karyanya secara lengkap: al-Hafidh al-Qur'an.
Seperti nampak pada kaligrafer lain periode Utsmaniyah, Hafidh menekuni gaya Tsuluts dan Naskhi. Kejeniusannya menulis dua gaya ini nampak pada karyanya, Hilyah (sebuah deskripsi tentang Nabi Muhammad), tahun 1691-1692 M. Para sejarawan dan kaligrafer setelahnya menjulukinya sebagai Ustadz al-Kull (guru keseluruhan). Ia juga dijuluki sebagai "Syaikh Hamdullah ketiga", setelah sang gurunya, Darwisy Ali (wafat 1086 H), sebagai ranking kedua.
Hafidh menulis enam hari dalam seminggu, dan istirahat pada hari Jum'at. Diriwayatkan, bahwa Hafidh mengkhususkan hari Ahad untuk mengajar kaligrafi secara gratis kepada orang-orang tidak mampu, sementara hari Rabu ia mengajar orang-orang kaya. Ia menulis 25 buah mushaf al-Qur'an dan inskripsi-inskripsi lain yang tersebar di mana-mana. Sebagian mushaf dan karya kaligrafinya tersebut kini tersimpan di Universitas Aya Sofia, Perpustakaan Universitas Nur Utsmaniyah dan Perpustakaan Nuruddin Bek Musthafa, Kairo.
Hafidh terpilih menjadi guru kaligrafi dua sultan Utsmaniyah, Ahmad Khan II (1691-1695) M) dan Musthafa Khan II (1695-1703 M). la meninggal ketika sembahyang Isya , tahun 1110 H/1698 M.

6. Musthafa Al-Raqirn
Musthafa al-Raqim lahir tahun 1171 H di Konya, Anatolia, Turki, dan finggal di Istanbul sejak ia masih muda. Bakal melukis dan kaligrafinya telah nampak sejak kecil. Mempelajari Naskhi dan Tsuluts dari kakak tertuanya, kaligrafer Ismail Zuhdi, kemudian kepada Darwisy Ali.
Al-Raqirn menjadi penulis kesultanan Ottoman masa Salim III (1789-1807 M) yang kemudian mengangkatnya menjadi pegawai di Departemen Seni Lukis kesultanan, dan jabatan-jabatan semacam lain. Al-Raqim menjadi guru kaligrafi untuk dua sultan Utsmani, Salim III dan Mahmud II (1808-1839 M).
Kaligrafer Ismail Haqqi, dalam tulisan serinya di majalah "Tadrisat Majmu'ah Siy" menulis tentang al-Raqim, "Apabila Barat bangga dengan Raphael dan Michaelangelo (pelukis), kita mesti bangga dengan al-Raqim: kaligrafer jenius ini Ialah meniupkan ruh dalam setiap huruf.
Al-Raqirn memperbaharui lagi kaidah-kaidah penulisan dan mengembangkan gaya-gaya terdahulu, di samping berusaha lebih kreatif dalam penciptaan gaya baru tulisan. Di zamannya ia dijuluki sebagai rail al-khathathin (pemuka para kaligrafer). Tulisan-tulisannya bahkan dianggap sebagai warisan paling mengagumkan.
Kaligrafer lain semasanya yang pantas disebut di sini, meski kedudukannya di bawah al-Raqim, adalah Mahmud Jalal al-Din. Tidak diketahui tahun kelahirannya. Ia meninggal di Istanbul tahun 1245/1829 M. Mahmud banyak menekuni Khath Naskhi dan Tsuluts seperti kebanyakan kaligrafer lain periode Ottoman.
Kaligrafi di masa kesultanan Turki Utsmani memang pantas diberi catatan khusus, bukan saja periode ini sempat melahirkan gaya-gaya baru Diwani, Diwani Jali, Riq'ah, misalnya, tiga gaya baru yang datang belakangan akan tetapi juga yang menarik adalah besarnya perhatian pihak pemerintah kepada seni ini. Betapa beberapa sultan Turki datang merunduk belajar kaligrafi kepada khaththath masanya. Mereka begitu tinggi menghargai kaligrafer. Terakhir, tercatat Abd al-Madjid II (1922-1924 M), penguasa terakhir Turki Utsmani, belajar kaligrafi kepada Muhammad Azat sampai mendapatkan ijazah dari sang kaligrafer.
Kiblat kaligrafi Islam yang sejak abad 15 M berpindah ke Turki, setelah mendewasa di Baghdad sejak abad 9 dan berkembang di Persia sejak abad 14 menemukan perkembangan finainya di sana. Rumus-rumus baku penulisan Arab tercipta pada periode ini, yang terpakai syah hingga kini, membuktikan hal itu. Turki merupakan pertahanan terakhir kaligrafi Islam.


7. Hamid Al-Amidi
Ia adalah Hamid Aytac al-Amidi, yang bemama ash Musa Azmi. Dilahirkan di Amid (sekarang dikenal dengan Diyarbakir) pada tahun 1891 M. Menetap di Istanbul sejak umur 15 tahum untuk belajar hukum, kaligrafi dan cabang seni lain. Ketika di Jerman ia sempat menaruh perhatian kepada seni lukis. la mempunyai kemampuan istimewa, yang dipelajarinya dengan tekun dari karya ahli-ahli pendahulunya. Mereka adalah pioner-pioner kaligrafi Daulah Utsmaniyah seperti Syaikh Hamdullah, Musthafa al-Raqim, Hafidh Utsman, Mahmud Jalal al-Din dan lain-lain. Akan tetapi yang membimbing Hamid secara langsung adalah kaligrafer Nadhif (1262-1331 H). Kaligrafer-kaligrafer lain yang cukup, berpengaruh sebelum¬nya, di antaranya, Sarni. (guru Nadhif) dan Muhammad Amin (1300-1372 H).
Hamid Aytac, akhirnya dikenal dengan Al-Amidi (kola kelahirannya). Ia menulis kaligrafi di beberapa gedung penting di Istanbul. Dua salinan al-Qur'annya dianggap sebagai karya masterpiecenya yang liar biasa. Karya lainnya adalah kali¬grafi di sejumlah kubah dan dinding mesjid, termasuk kubah mesjid Ayub Sultan, dan beberapa inskripsi lain.
la mempunyai mired yang tersebar di seluruh dunia. Salah satunya adalah Hasyim Muhammad al-Baghdadi penulis buku ini. Hamid al-Amidi berusia panjang, 91 tahun, meninggal pada 18 Mei 1982. Semoga Allah merahmatinya.
Untuk mengenang kebesarannya, International Comission for the Preser¬vation of Islamic Cultural Heritage (Komisi Internasional untuk Pemeliharaan Warisan Kebudayaan Islam), di bawah Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang berpusat di Istanbul, setiap tiga tahun sekali menyelenggarakan Lomba Kaligrafi Internasional atas Hama Hamid al-Amidi, sejak 1985.
Hamid al-Amidi adalah pewaris terakhir "Dinasti Kaligrafi" di Turki sejak abad 15 M.

0 komentar:

Posting Komentar